I. Pendahuluan
MASJID AGUNG SEMARANG, sebagai masjid tertua di kota Semarang- ibukota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang dan erat kaitannya dengan sejarah berdirinya kota Semarang. Masjid yang kini telah menjadi cagar budaya dan harus dilindungi menjadi kebanggan warga Semarang karena bangunannya yang khas, mencaerminkan jatidiri masyarakat pesisir yang lugas tetapi bersahaja. Seperti halnya pada masjid-masjid kuno di pulau Jawa, Masjid Agung Semarang berada di pusat kota (alun-alun) dan berdekatan dengan pusat pemerintahan (kanjengan) dan penjara, serta tak berjarak jauh dari pusat perdagangan (pasar Johar), merupakan ciri khas dari tata ruang kota pada jaman dahulu.
Pengaruh walisongo pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu kuat, memengaruhi ciri arsitektur Masjid Agung Semarang. Ini semua bisa dilihat dari atap Masjid yang berbentuk tajuk tumpang (tingkat) tiga. Arsitektur ini juga mirip dengan MAsjid Agung Demak yang dibangun pada masa kesultanan Demak. Atap tingkat tiga merupakan representasi dari makna filosofi Iman, Islam dan Ikhsan. Berbeda dengan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Semarang dibungkus dengan bahan seng bergelombang, pada waktu itu merupaan bahan yang langka dan secara khusus harus didatangkan dari Belanda.
Masjid Agung Semarang memiliki ciri arsitektur Jawa yang khas, dengan bentuk atapmnya menyiratkan bangunan gaya Majapahit. Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil, sedangkan tajug tertinggi berbentuk limasan. Semua tajug ditopang dengan balok-balok kayu berstruktur modern. Yang membedakan lagi, bangunan utama Masjid Demak disangga empat soko guru, sedang atap Masjid Agung Semarang ditopang 36 soko (pilar) yang kokoh. Bentuk atap limasan yang diberi hiasan mustaka, sementara pintunya berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan arsitektur Persia atau Arab.
Di ruangan masjid, terdapat mihrab yang terlihat runcing dengan langit-langit dari beton, terdapat mimbar imam yang terbuat dari kayu jati dilengkapi ornamen ukir yang indah. Konon pada jaman dahulu mimbar ini dibuat sepasang, salah satunya untuk tempat sholat bupati Semarang. Komplek masjid dibatasi oleh pagart tembok dan pagar besi. Entrance utama berupa gerbang masuk gapura (tepatnya di JL. Alun-alun Barat) dan pada samping (tepatnya pada Jl. Kauman) terdapat pintu gapuro yang lebih kecil.
Masjid Agung Semarang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di kota Semarang. Bahkan masjid ini juga dianggap sebagai simbol pembauran masyarakat, sebab di sekitar alun-alun dekat masjsid kala itu bermukim warga dari berbagai etnis. Di sebelah utara yang berbatasan dengan Kali Semarang dan pelabuhan , merupakan perkampungan warga etnis Arab dan Koja. Di sebelah barat bermukim etnis Melayu dan sebelah selatan bermukim etnis Jawa yang membaur ke timur bersama etnis China. Hingga kini, di sekitar Masjid Agung Semarang menjadi rumah suci pemersatu umat.
Dalam sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia, Masjid Agung Semarang juga menyimpan cerita yang menarik. Masjid ini nenjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia secara terbuka hanya beberapa saaat setelah diproklamirkan. Seperti diketahui peristiwa proklamasi yang dibacakan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta di Pegangsaaan Timur no 56 Jakarta pada hari Jum’at pukul 10.00 pagi. Lebih kurang satu jam setelah itu yaitu pada saat sebelum sholat Jum’at, Alm. dr. Agus, salah seorang jama’ah aktif di Masjid Agung Semarang melalui mimbar Jum’at dan dihadapan jama’ah mengumumkan terjadinya proklamasi RI.
Keberanian Alm. dr. Agus harus dibayar mahal, karena setelah peristiwa itu beliau dikejar-kejar tentara Jepang dan melarikan diri ke Jakarta hingga meninggal di sana. Sebagai penghargaan atas peristiwa tersebut pada tahun 1952, Presiden RI pertama Ir. H. Soekarno menyempatkan diri hadir untuk melakukan sholat jumat dan berpidato di masjid ini.
Mengingat pentingnya Masjid Agung Semarang maka perlu disusun buku tentang masjid ini. Buku yang menyajikan data sejarah dan keterangan tentang awal berdirinya masjid dan perkembangannya dari masa ke masa. Diharapkan dengan buku sejarah tentang masjid ini dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengkaji dan mengenal lebih dekat Masjid Agung Semarang.
II. Masjid Agung Semarang dari Masa ke Masa
A.MASA AWAL BERDIRINYA
Hingga saat ini masih belum diperoleh keterangan ataupun data yang akurat yang dapat memastikan kapan masjid Agung Semarang mulai dibangun dan didirikan. Berdasarkan catatan-catatan sejarah dan cerita-cerita tutur yang dapat dijadikan dasar rujukan, masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi atau pada masa kesultanan Demak.
Alkisah seorang dari kesultanan Demak bernama Made Pandan, seorang maulana dari Arab yang nama aslinya Maulana Ibnu Abdul Salam mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang. Bersama putranya, Made Pandan meninggalkan Demak menuju ke daerah barat di suatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirangan dan membuka hutan dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan nama daerah itu menjadi Semarang.
Made Pandan mula-mula mengawali tugasnya dengan membangun sebuah masjid yang sekaligus dijadikan sebagai padepokan untuk pusat kegiatan dalam mengjarkan agama Islam. Masjid inilah yang merupakan cikal-bakal Masjid Agung Semarang. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini belum menempati tempatnya yang sekarang. Terletak di kawasan Mugas (sekarang termasuk wilayah kecamatan Semarang Selatan). Sebagai pendiri desa dan pemuka agama di daerah setempat, Made Pandan bergelar Ki Ageng Pandan Arang.
Lambat laun pengaruh Ki Ageng Pandan Arang semakin besar dan daerah tersebut juga semaki menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat terpenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, dinobatkan menjadi Bupati Semarang yang pertama. Peristiwa itu bertepatandengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Pada tanggal itu “secara adat dan politis berdirilah kota Semarang”.
B. MASA KESULTANAN MATARAM
Setelah dinobatkan menjadi bupati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandan Arang menjadi masjid yang dibangunnya sekedar untuk tempat ibadah dan tempat mengajarkan agama saja, tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan, sehingga beliau pindah di daerah yang lebih strategis di kota Semarang bagian bawah di Bubakan.
Beliau juga memindahkan Masjid Agung Semarang di daerah tersebut, tetapi lokasinya juga buka di tempatnya sekarang. Lokasi di mana masjid ini belum dapat dipastikan. Peta kuno Semarang yang tersimpan di Rijks Archief di Belanda menggambarkan bahwa waktu itu Masjid Agung Semarang terletak di seblah timur laut dari kabupaten Semarang yaitu di sekitae daerah Pedamaran.
Konon tidak lama setelah itu Ki Ageng Pandan Arang wafat dan dimakamkan di bukit Pakis Aji. Kedudukannya sebagai bupati sekaligus sebagai pemimpin dan penyebar agama digantikan oleh putranya yang begelar Ki Ageng Pandan Arang II. Beliau hanya tigatahun menduduki tahta kabupaten karena atas nasihat Sunan Kalijaga, beliau lebih mengutamakan tugasnya sebagai penyebar agama daripada tugas memimpin pemerintahan.
Ki Ageng Pandan Arang II kemudian melanglang buana ke arah selatan untuk menyebarkan agama Islam di kawasan yang kemudian dinamakan Salatiga, Boyolali dan terus menuju Klaten. Beliau juga mendirikan padepokan sebagai pusat penyebaran agama di suatu tempat yang dinamakan Tembayat, sehingga beliau juga terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat. Beliau wafat di tempat itu pada tahun 1553 dan dimakamkan di bukit Jabalkat (dari bahasa arab Jabal Qof).
Sesudah bupati Pandan Arang II mengundurkan diri, kedudukan sebagai Bupati dan pemimpin agama agama di Semarang digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Ki Ageng Pandan Arang III (1553-1586) sekaligus juga bergelar pangeran Mangkubumi I. Beliau digantikan putranya yang bernama Kyai Khalifah yang bergelar Pangeran Mangkubumi II. Kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Kyai Mas Tumenggung Tambi (1657-1659), selanjutnya Kyai Mas Tumenggung Wongsorejo (1659-1666), Kyai Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670), Kyai Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674). Sampai pada masa Bupati ini, kabupaten Semarang masih di bawah Kesultanan Mataram.
C. MASA PENJAJAHAN
Bangsa penjajah mulai memasuki kota Semarang pada masa pemerintahan bupati ke-10, bernama Kyai Mas Tumenggung Judonegoro, yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo I (1674-1701). Kemudian beliau digantikan Kyai Tumenggung Mertoyudo yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo II (1743-1751).
Pada masa pemerintahan Adipati Suro Hadimenggolo II terjadi peristiwa kebakaran bewsar yang memusnahkan masjid peninggalan ki Ageng Pandan Arang. Peristiwa bermula akibat terjadinya pemberontakan orangorang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dipicu permasalahan persaingan dagang oleh VOC. Karena lokasi Masjid Agung Semarang berdekatan dengan VOC di Bubakan dan juga tak jauh dari kampung Pecinan maka mengakibatkan Masjid Agung Semarang ikut terbakar habis.
Usaha mendirikan masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo II dan lokasinya tidak menempati tempa yang lama, tetapi pindah ke lokasi yang lebih srtategis di sebelah barat Bubakan yaitu tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Barat Semarang. Tepatnya diujung Jalan Kauman, si sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa Kabupaten yang lazim disebut “kanjengan”.
Pengganti Suro Hadimenggolo III bernama Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Suro Hadimenggolo III (1751-1773). Pada masa ini terjadi usaha perbaikan besar-besaran terhadap bangunan Masjid Agung Semarang. Hingga menjadi sebuah masjid yang benar-benar megah dan anggun pada waktu itu. Karena peran Bupati Suro Hadimenggolo III dalam pembangunan Masjid, ada yang menjulukinya sebagai “desticher van de ecrste te Semarang” (pendiri masjid besar yang pertama di Semarang).
Perbaikan masjid berlangsung selama dua tahun yaitu mulai tahun 1759 sampai 1760. Beliau wafat kira-kira 13 tahun setelah selesainya pembangunan masjid. Dan sejak tahun 1773 beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Suro Hadimenggolo IV, selanjutnya digantikan oleh Pangeran Terboyo yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo V, dan digantikan Raden Tumenggung Surohadiningrat, kemudian digantikan Putro Suhadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), sampai pada masa ini tidak tercatat adanya perubahan atau peristiva yang berarti terhadap Masjid Agung Semarang. Hal ini menunjukkan betapa kokohnya bangunan Masjid semasa pemerintahan Bupati Suro Hadimenggolo III.
Baru kemudian pada masa pemerintaha bupati Raden Mas Suryokusuma (1860-1887), terjadi perbaikan masjid pada tahun 1867. Namun demikian maksud baik Bupati Suryokusumo tidak berjalan lancar karena kurangnya pendanaan. Perbaikan masjid yang sudah termakan usia dilanjutkan oleh Bupati yang menggantikannya yakni Bupati Raden Reksodirejo (1887-1891). Namun belum sampai selesai, beliau wafat dan digantikan oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Purbaningrat.
Raden Mas Tumenggung Purbaningrat dengan kewibawaan dan kekuasaannya berhasil mengatasi kesulitan dana dan memulai pembangunan kembali masjid ini. Mulai tahun 1883 masjid telah difungsikan kembali dengan konstruksi yang cukup megah dan kuat. Namun hanya dalam tempo dua tahun setelah masjid disungsikan tepatnya pada tanggal 10 April 1885 kembali terjadi musibah kebakaran. Seluruh bangunan berikut barang-barang berhaga yang terdapat di dalamnya tidak ada yang dapat diselamatkan, sehingga umat islam di kota Semarang pada waktu itu benar-benar dalam suasana duka yang amat dalam. Konon kebakaran terjadi akibat tersambar petir pada malam hari sekitar pukul 20.30 WIB.
Usaha membangun kembali masjid yang terbakar dilaksanakan pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Bupati Cokrodipiro, dibantu oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir.G.A Gambier dan berhasil diselesaikan dalam tempo yang sangat singkat sehingga sejak bulan april 1890 masjid telah dapat difungsikan kembali hingga sekarang. Peristiwa terbakarnya masjid dan pembangunannya kembali diabadikan pada prasasti empat bahasa (Arab, Jawa, Belanda dan Melayu) yang dipasang menyatu dalam bagian dinding gapura masjid.
Pada masa pemerintahan Raden Mas Soebiyono (1897-1927), yang bergelar Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat menganugerahkan tiga buah pusaka untuk disimpan di dalam masjid yaitu berupa tombak bernama Kyai Plered, Kyai Puger dan Kyai Mojo, sampai saat ini masih terawat dan tersimpan sebagai pusaka masjid.
Selanjutnya jabatan Bupati Semarang Raden Mas Amin Sujitno (1927-1942) Raden Mas AA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945) dan Raden Soediyono Taruna Kusumo (1945), hanya berlangsung satu bulan karena memasuki masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
D. MASA KEMERDEKAAN
Setelah Indonesia merdeka, bupati Semarang dijabat oleh M. Soemardjito Priyohadisubroto. Kemudian pada masa Pemerintahan RIS yaitu pemerintahan federal diangkat Bupati RM. Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserahterimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetojo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang sebagai Kota Praja.
Dampak dari perkembangan Semarang sebagai Kota Praja adalah Masjid Agung Semarang yang sebelumnya menjadi urusan Bupati Semarang diserahkan kepada walikota Semarang. Sehingga pada tahun 1950, walikota Semarang RM Hadi Soebeno Sosrowerdojo (1951-1958), melakukan upaya pembangunan serambi guna menambah kapasitas tempat sholat.
Pada tahun 1962 atas desakan uma islam, karena adanya aksi-aksi penjarahan oleh PKI/BTI terhadap aset-aset masjid, maka pemerintah Republik Indonesia memberikan status hukum tersendiri terhadap Masjid Agung Semarang, yaitu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 92/Tahun 1962, Masjid Agung Semarang bersama-sama dengan Masjid Agung Demak, Kaliwungu dan Kendal dinyatakan sebagai masjid wakaf dan sebagai nadzirnya ditunjuk Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang merupakan salah satu lembaga di bawah Departemen Agama.
Semasa pemerintahan Orde Baru Masjid Agung Semarang telah berulang kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Pada tahun 1979-1980 memperoleh dana bantuan presiden sebesar Rp 10 juta yang dialokasian untuk perbaikan atap dan interior masjid. Kemudian bantuan dari Presiden diterima lagi pada tahun197-1988 sebesar Rp 150juta yang dialokasikan untuk biaya pemugaran total terhadap serambi Masjid.
Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990) secara khusus juga menaruh perhatian terhadap Masjid Agung Semarang. Pada tahun 1982-1983 beliau memprakarsai pembangunan menara (terbuat dari baja) berikut sound system dan sirine (pengganti bom udara) untuk tanda waktu imsak dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Pembiayaannya diperoleh dari kas APBD Kota Semarang.
E. BADAN PENGELOLA MASJID AGUNG SEMARANG
Pada mulanya, BKM yang ditunjuk sebagai nadzir Masjid Agung Semarang melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk pengelolaan masjid dibentuklah Yayasan yang diketuai oleh ketua BKM Semarang (ex-officio). Maksudnya adalah untuk mempermudah koordinasi terutama dalam penyelamatan aset masjid berupa bondo tanah wakaf yang jumlahnya mencapai 120 hektare. Namun dalam perkembangannya, BKM justru bertindak tidak amanah dan melakukan kelalaian dalam kasus ruislaag tanah wakaf yang bermasalah. Pengelolaan masjid yang seharusnya menjadi tanggung jawab BKM lambat laun kurang diperhatikan. Sehingga kondisi masjid semakin lama semakin terpuruk dimakan usia. Dana kas masjid yang terkumpul juga tidak mencukupi kebutuhan operasional,
Seiring era reformasi, masyarakat yang tergabung di dalam Jamaa’ah Peduli Masjid Agung Semarang mengusulkan terbentuknya kepengurusan baru di Masjid Agung Semarang yang melibatkan jama’ah dalam kepengurusannya. Maksud dari gagasan ini adalah sebagau upaya memakmurkan Masjid Agung Semarang dan sekaligus membantu BKM dalam pengelolaan Masjid Agung Semarang. Keterlibatan jama’ah yang independen, dimaksudkan afar menghindari birokrasi pemerintahan yang justru akan merugikan Masjid Agung Semarang.
Walikota Semarang, pada waktu itu H. Sukawi Sutarip SH.SE. (2000-2010) menyambut baik gagasan itu. Setelah melalui beberapa kendala terutama dengan pihak BKM Kota Semarang dan Yayasan yang ada, maka dibentuklah Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang melibatkan masyarakat dalam kepengurusannya. Keberadaan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang diperkuat dengan terbitnya Keputusan Walikota Semarang. Pelantikan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang pertama diselenggarakan pada tanggal 30 Desember 2002.
Badan Pengelola Masjid Agung Semarang bersama-sama dengan pemerintah dan jama’ah melaksanakan kembali pembangunan masjid yang sempat terhenti beberapa saat. Hingga saat ini banyak pembgnunan yang telah diselesaikan, diantaranya adalah
1.Renovasi tempat wudhu bagian selatan dan bagian utara
2.Renovasi ruang kantor dan ruang rapat
3.Pembangunan menara sisi utara
4.Pembangunan gedung serbaguna,dsb.
III. Kekayaan Masjid Agung Semarang
- A.KEKAYAAN MATERIAL
Betapapun belum didapat keterangan pasti tentang asal-usulnya, namun secara pasti diketahui sejak masa kesultanan Demak, Masjid Agung Semarang memiliki kekayaan berupa tanah yang sangat luas yang hasilnya digunakan untuk para merbotnya (karyawan) dan biaya pemeliharaan masjid itu sendiri.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama no 92 tahun 1962 tanah berikut harta kekayaan Masjid Agung Semarang dinyatakan sebagai wakaf dan Badan Kesejahteraan Masjid ditunjuk sebagai nadzirnya. Di belakang hari, Keputusan ini menjadikan bumerang bagi Masjid Agung Semarang, karena di samping tidak bisa mengelola bondo (harta)nya sendiri sekaligus tidak memperoleh hasil berupa apaun untuk biaya operasional demi kemakmuran masjid dan merbotnya.
Pada mulanya tanah-tanah kekayaan Masjid Agung Semarang itu berjumlah hampir 120 hektar yang tersebar dan terpencar di berbagai tempat, antara lain di wilayah Kecamatan genuk, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamtan Semarang Timur, Kecamatan Karang Tengah, Kecamatan Weleri Kendal.
Karena sebagian besar tanah-tanah tersebut pada waktu itu tidak dapat dipetik hasilnya, maka atas kebijakan Menteri Agama Republik Indonesia pada waktu itu, H. Alamsyah Ratu Prawiranegara, Lewat Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia no 12 tahun 1980 tentang penunjukkan PT Sambirejo sebagai penukar tanah bondo Masjid Agung Semarang, sebagian besar dari tanah-tanah kekayaan Masjid Agung Semarang tadi ditukarkan dengan tanah di daerah lain yang julahnya lebih banyak dan diharapkan dengan penukaran tersebut dapat memberikan hasil lebih banyak. Luas tanah yang ditukarkan seluruhnya 119,1270 hektar ditukar dengan tanah selluas 250 hektar dan masih ditambah lagi dengan denda (addendum) seluas 32 hektar seluruhnya terletak di wilayah Kabupaten Demak.
Dengan demikian, setelah terjadinya penukaran itu maka Bondo Masjid Agung Semarang itu menjadi sbb:
1.Kelurahan Trimulyo, kec. Genuk : 6,5120 ha
2.Kecamatan Karang Tengah, Demak : 2,2550 ha
3.Kecamatan Weleri, Kendal : 1,220 ha
4.Kecamatan Dempet, Demak : 55,147 ha
5.Kecamatan Sayung, Demak : 110,9918 ha
6.Kecamatan Kr. Tengah, Demak : 84,2717 ha
Di samping itu juga memiliki bangunan wisma berikut tanahnya yang terletak di wilayah Semarang Timur kelurahan Pedurungan Tengah.
Ternyata di belakang hari diketahui bahwa proses tukar-menukar (ruislaag) tersebut tidak benar dan cacat hukum. Hal ini bisa dipelajari dari kenyataan bahwa meski sertifikatnya ada, namun pemilik asal tanah pengganti tersebut merasa tidak pernah menjual tanahnya. Anehnya, meskipun diketahui bermasalah, tetapi Menteri Agama Republik Indonesia pada waktu itu, H. Munawie Sjadzali, MA justru mengeluarkan Surat Keputusan No 18 tahun 1985 yang isinya menegaskan penyelesaian tukar-menukar tersebut.
B. KEKAYAAN NON MATERIAL
Sejak jaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat , tepatnya sejak tahun 1881 yaitu dua tahun sebelum peristiwa naas terbakarnya Masjid akibat tersambar petir, di Masjid Agung Semarang telah memilai dikembangkan suatu tradisi khas untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang disebut “DUGDERAN” (ada juga yang menyebut “megengan”).
Merujuk data sejarah, pengagas Dugderan adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Purboningrat (1860-1887). Pertama kali diadakan tahun 1881 dan dilatarbelakangi kebiasaan masyarakat Semarang menggunakan rukyah dalam penetapan awal bulan Ramadhan. Seperti diketahui, kondisi geografis Semarang yang terbagi dalam dua bagian (Semarang atas dan Semarang bawah) sangat tepat untuk melakukan rukyah (melihat bulan sebagai tanda awal bulan Ramadhan). Agar tidak terjadi perbadaan pendapat tentang hasil rukyah, Bupati mengumpulkan Alim Ulama guna halaqoh (musyawarah) agar tercapai keputusan bersama. Kemudian keputusan Alim Ulama tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan ini diumumkan oleh bupati kepada masyarakat yang telah berduyun-duyun dari pelosok daerah berkumpul di Masjid Agung Semarang.
Berkumpulnya masyarakat juga membawa dampak ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi tercermin dengan kehadiran para penjual yang mremo di sekitar Aloon-aloon, sedangkan dampak sosial adalah berbaurnya seluruh masyarakat dari berbagai etnis, baikpribumi (Jawa), Arab dan Cina. Perbauran ketiga etnis digambarkan secara elok berupa hewan rekaan bernama “Warak”. Hewan ini merupakan perpaduan antara kambing Jawa, unta dan naga. “Warak” berasal dari bahasa Arab “Waro’a” yang berarti menjaga diri dari perbuatan yang syubhat. Seorang yang mencapai derajat “Waro’a” akan membawa manfaat bagi agama dan lingkungannya. Derajat “waro’a” disibolkan dengan “ngendhog”, maka jadilah “Warak Ngendhog”.
Perkembangan berikutnya, tradisi dugderan tidak lagi menggunakan meriam tetapi digantikan mercon besar. Bahkan lebih dari itu tradisi tadi berkembang lebih semarak dengan datangnya para pedagang yang menjajakan bermacam-macam mainan anak-anak sehingga menjadi pasar malam yang memberikan warna baru terhadap tradisi dugderan.
Tradisi ini pada masa pemerintahaan Orde Baru, tepatnya dimulai pada tahun 1983, pada masa Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990), lebih disemarakkan dengan diadakannya pawai karnaval yang melibakan ribuan santri dan siswa-siswa sekolah serta segenap lapisan masyarakat dengan bermacam-macam atraksi keseniannya masing-masing. Pawai karnaval dugderan menyambut semaraknya tradisi tersebut, dimulai dari halaman Balaikota di Jalan Pemuda dan berakhir di halaman Masjid Agung Semarang di Jalan Kauman.
Namun demikian, kalau pada mulanya dugderan ditandai dengan pembunyian bedug dan meriam, kemudian meriamnya diganti dengan bom udara, maka sejak masa pemerintahan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH bom udara itu tidak lagi digunakan. Di samping karena adanya kebijakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang melarang pembunyian bom udara dalam acara dugderan untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan maupun untuk tanda datangnya waktu maghrib dan imsak juga dirasa tidak efisien sekaligus mengandung risiko yang sangat berbahaya.
Oleh karena itu, atas kebijakan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH di halaman Masjid Agung Semarang didirikan menara sirine dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah daerah Kota Semarang. Menara sirine tadi selain berfungsi untuk tanda waktu maghrib dan imsak pada bulan Ramadhan, sekaligus digunakan untuk memasang loudspeaker (pengeras suara) yang digunakan untuk sarana mengumandangkan adzan (panggilan sholat) setiap waktu.
Demikian sekilas gambaran tentang Masjid Agung Semarang berikut perkembangannya dari masa ke masa. Mudah-mudahan catatan sederhana yang dituangkan dalam buku kecil ini akan besar manfaatnya bagi semua pihak yang menaruh minat untuk mengenal lebih dekat terhadap masjid bersejarah kebanggan Pemerintah dan warga Kota Semarang ini.
Kegigihan semangat para pemimpin umat terdahulu dalam memasyarakatkan agama Allah benar-benar patut diteladani oleh generasi-generasi penerus agar agama Islam dan masjidnya benar-benar dapat memancarkan rahmat bagi semesta alam. Aamiin.