Sejarah dugderan
Sejak jaman pemerintahan Bupati Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat , tepatnya sejak tahun 1881 yaitu dua tahun sebelum peristiwa naas terbakarnya Masjid akibat tersambar petir, di Masjid Agung Semarang telah memilai dikembangkan suatu tradisi khas untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang disebut “DUGDERAN” (ada juga yang menyebut “megengan”).
Merujuk data sejarah, pengagas Dugderan adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Purboningrat (1860-1887). Pertama kali diadakan tahun 1881 dan dilatarbelakangi kebiasaan masyarakat Semarang menggunakan rukyah dalam penetapan awal bulan Ramadhan. Seperti diketahui, kondisi geografis Semarang yang terbagi dalam dua bagian (Semarang atas dan Semarang bawah) sangat tepat untuk melakukan rukyah (melihat bulan sebagai tanda awal bulan Ramadhan). Agar tidak terjadi perbadaan pendapat tentang hasil rukyah, Bupati mengumpulkan Alim Ulama guna halaqoh (musyawarah) agar tercapai keputusan bersama. Kemudian keputusan Alim Ulama tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan ini diumumkan oleh bupati kepada masyarakat yang telah berduyun-duyun dari pelosok daerah berkumpul di Masjid Agung Semarang.
Berkumpulnya masyarakat juga membawa dampak ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi tercermin dengan kehadiran para penjual yang mremo di sekitar Aloon-aloon, sedangkan dampak sosial adalah berbaurnya seluruh masyarakat dari berbagai etnis, baikpribumi (Jawa), Arab dan Cina. Perbauran ketiga etnis digambarkan secara elok berupa hewan rekaan bernama “Warak”. Hewan ini merupakan perpaduan antara kambing Jawa, unta dan naga. “Warak” berasal dari bahasa Arab “Waro’a” yang berarti menjaga diri dari perbuatan yang syubhat. Seorang yang mencapai derajat “Waro’a” akan membawa manfaat bagi agama dan lingkungannya. Derajat “waro’a” disibolkan dengan “ngendhog”, maka jadilah “Warak Ngendhog”.
Perkembangan berikutnya, tradisi dugderan tidak lagi menggunakan meriam tetapi digantikan mercon besar. Bahkan lebih dari itu tradisi tadi berkembang lebih semarak dengan datangnya para pedagang yang menjajakan bermacam-macam mainan anak-anak sehingga menjadi pasar malam yang memberikan warna baru terhadap tradisi dugderan.
Tradisi ini pada masa pemerintahaan Orde Baru, tepatnya dimulai pada tahun 1983, pada masa Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990), lebih disemarakkan dengan diadakannya pawai karnaval yang melibakan ribuan santri dan siswa-siswa sekolah serta segenap lapisan masyarakat dengan bermacam-macam atraksi keseniannya masing-masing. Pawai karnaval dugderan menyambut semaraknya tradisi tersebut, dimulai dari halaman Balaikota di Jalan Pemuda dan berakhir di halaman Masjid Agung Semarang di Jalan Kauman.
Namun demikian, kalau pada mulanya dugderan ditandai dengan pembunyian bedug dan meriam, kemudian meriamnya diganti dengan bom udara, maka sejak masa pemerintahan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH bom udara itu tidak lagi digunakan. Di samping karena adanya kebijakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang melarang pembunyian bom udara dalam acara dugderan untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan maupun untuk tanda datangnya waktu maghrib dan imsak juga dirasa tidak efisien sekaligus mengandung risiko yang sangat berbahaya.
Oleh karena itu, atas kebijakan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH di halaman Masjid Agung Semarang didirikan menara sirine dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah daerah Kota Semarang. Menara sirine tadi selain berfungsi untuk tanda waktu maghrib dan imsak pada bulan Ramadhan, sekaligus digunakan untuk memasang loudspeaker (pengeras suara) yang digunakan untuk sarana mengumandangkan adzan (panggilan sholat) setiap waktu.
Merujuk data sejarah, pengagas Dugderan adalah Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Purboningrat (1860-1887). Pertama kali diadakan tahun 1881 dan dilatarbelakangi kebiasaan masyarakat Semarang menggunakan rukyah dalam penetapan awal bulan Ramadhan. Seperti diketahui, kondisi geografis Semarang yang terbagi dalam dua bagian (Semarang atas dan Semarang bawah) sangat tepat untuk melakukan rukyah (melihat bulan sebagai tanda awal bulan Ramadhan). Agar tidak terjadi perbadaan pendapat tentang hasil rukyah, Bupati mengumpulkan Alim Ulama guna halaqoh (musyawarah) agar tercapai keputusan bersama. Kemudian keputusan Alim Ulama tentang jatuhnya awal bulan Ramadhan ini diumumkan oleh bupati kepada masyarakat yang telah berduyun-duyun dari pelosok daerah berkumpul di Masjid Agung Semarang.
Berkumpulnya masyarakat juga membawa dampak ekonomi dan sosial. Dampak ekonomi tercermin dengan kehadiran para penjual yang mremo di sekitar Aloon-aloon, sedangkan dampak sosial adalah berbaurnya seluruh masyarakat dari berbagai etnis, baikpribumi (Jawa), Arab dan Cina. Perbauran ketiga etnis digambarkan secara elok berupa hewan rekaan bernama “Warak”. Hewan ini merupakan perpaduan antara kambing Jawa, unta dan naga. “Warak” berasal dari bahasa Arab “Waro’a” yang berarti menjaga diri dari perbuatan yang syubhat. Seorang yang mencapai derajat “Waro’a” akan membawa manfaat bagi agama dan lingkungannya. Derajat “waro’a” disibolkan dengan “ngendhog”, maka jadilah “Warak Ngendhog”.
Perkembangan berikutnya, tradisi dugderan tidak lagi menggunakan meriam tetapi digantikan mercon besar. Bahkan lebih dari itu tradisi tadi berkembang lebih semarak dengan datangnya para pedagang yang menjajakan bermacam-macam mainan anak-anak sehingga menjadi pasar malam yang memberikan warna baru terhadap tradisi dugderan.
Tradisi ini pada masa pemerintahaan Orde Baru, tepatnya dimulai pada tahun 1983, pada masa Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH (1980-1990), lebih disemarakkan dengan diadakannya pawai karnaval yang melibakan ribuan santri dan siswa-siswa sekolah serta segenap lapisan masyarakat dengan bermacam-macam atraksi keseniannya masing-masing. Pawai karnaval dugderan menyambut semaraknya tradisi tersebut, dimulai dari halaman Balaikota di Jalan Pemuda dan berakhir di halaman Masjid Agung Semarang di Jalan Kauman.
Namun demikian, kalau pada mulanya dugderan ditandai dengan pembunyian bedug dan meriam, kemudian meriamnya diganti dengan bom udara, maka sejak masa pemerintahan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH bom udara itu tidak lagi digunakan. Di samping karena adanya kebijakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang melarang pembunyian bom udara dalam acara dugderan untuk menandai datangnya bulan suci Ramadhan maupun untuk tanda datangnya waktu maghrib dan imsak juga dirasa tidak efisien sekaligus mengandung risiko yang sangat berbahaya.
Oleh karena itu, atas kebijakan walikota H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH di halaman Masjid Agung Semarang didirikan menara sirine dengan biaya sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah daerah Kota Semarang. Menara sirine tadi selain berfungsi untuk tanda waktu maghrib dan imsak pada bulan Ramadhan, sekaligus digunakan untuk memasang loudspeaker (pengeras suara) yang digunakan untuk sarana mengumandangkan adzan (panggilan sholat) setiap waktu.